Sukabumi, 22 Oktober 2025
Di tengah atmosfer kompetisi yang semakin ketat di UFC, pertarungan antara Islam Makhachev dan Ilia Topuria mulai dipandang bukan lagi sekadar adu teknik, melainkan pertemuan dua era, dua filosofi tempur, dan dua bentuk legitimasi juara. UFC belum mengumumkan tanggal resmi, tetapi gelombang animo publik terus menguat, seolah pertarungan ini tinggal menunggu aba-aba terakhir sebelum menjadi kenyataan.
Islam Makhachev berdiri sebagai wajah baru dominasi kelas ringan setelah era Khabib Nurmagomedov. Stabil, presisi, dan efektif — gaya bertarungnya mengingatkan banyak orang pada filosofi asal Dagestan: kemenangan tidak hanya diraih lewat agresi, tetapi lewat ketekunan, disiplin, dan penguasaan ruang. Setiap duel bagi Makhachev bukan sekadar pertandingan, melainkan proses mengendalikan musuh lahir dan batin.
Sebaliknya, Ilia Topuria datang sebagai simbol kebangkitan juara generasi baru. Cepat, emosional, penuh keyakinan diri, dan sangat mematikan dalam striking. Kemenangannya atas Volkanovski membuatnya menjadi figur yang tiba-tiba terdorong ke puncak kepopuleran. Muda, atraktif, dan punya daya jual — kombinasi yang menjadikannya magnet perhatian media.
Dalam analisis teknis, pelatih utama Makhachev, Javier Mendez, menegaskan bahwa pengalaman Islam dalam menghadapi lawan dengan profil striking kelas dunia menjadi modal penting. “Topuria adalah petarung berbahaya, tetapi Islam adalah paket lengkap. Dia grappled dengan para pemukul terbaik dan mengontrol mereka sampai ke detik terakhir,” ujar Mendez dalam salah satu sesi latihan terbatas di AKA.
Di sisi lain kamp lawan, pelatih Topuria di Climent Club melihat celah berbeda. Jorge Climent menyampaikan bahwa Topuria memiliki keunggulan dalam timing dan power yang bisa mematahkan kontrol grappling. “Islam punya teknik lantai terbaik di UFC, tetapi sebelum ia sampai ke sana, ia harus melewati api. Dan Topuria membakar siapa pun yang berada di jaraknya,” katanya.
Sejumlah analis UFC menyebut duel ini sebagai “benturan legitimasi.” Bagi Makhachev, menang berarti mempertegas kendali atas dua divisi sekaligus — sebuah capaian yang akan mengangkatnya setara dengan legenda all-time great. Sementara bagi Topuria, kemenangan adalah pembuktian bahwa ia bukan hanya juara baru, melainkan ancaman jangka panjang bagi seluruh elite UFC.
Menilai tensi yang berkembang, saya selaku jurnalis yang mengikuti perkembangan duel ini menyampaikan, “Pertarungan ini menjadi titik temu dua narasi besar: pengalaman yang dibangun dengan kesunyian latihan bertahun-tahun, versus kebangkitan cepat yang dibentuk oleh momentum. Publik tidak hanya menunggu pemenang, mereka menunggu penentu arah sejarah UFC setelah era Khabib.”
Dari perspektif pasar, UFC dianalisis sedang membangun duel ini sebagai “pertarungan puncak identitas baru.” Ketika sabuk saja tidak lagi cukup, dominasi harus dibuktikan lintas divisi. Dan di sanalah pertarungan ini menemukan maknanya.
Abu Dhabi menjadi lokasi paling rasional — bukan hanya karena sejarah Islam Makhachev di sana, tetapi juga karena dukungan pasar Timur Tengah yang sedang berkembang pesat bagi UFC. Namun Las Vegas tetap menjadi pilihan komersial tertinggi.
Apapun venue-nya, satu hal menjadi jelas:
Pertarungan ini bukan sekadar ‘siapa yang menang’, melainkan siapa yang pantas disebut yang tertinggi di antara yang tertinggi.
(M.Raihan)












