George R.R. Martin Diterpa Isu Gunakan AI di Buku Game of Thrones, Tim Bantah Keras

Dunia fantasi Westeros kembali jadi bahan perbincangan, tapi kali ini bukan karena naga atau perebutan takhta.

KASUKABUMI — Dunia fantasi Westeros kembali jadi bahan perbincangan, tapi kali ini bukan karena naga atau perebutan takhta. George R.R. Martin, penulis legendaris di balik jagat A Song of Ice and Fire, tengah menghadapi tuduhan serius soal penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam edisi ilustrasi terbaru bukunya.

Isu ini bermula setelah rilis edisi kolektor A Feast for Crows, buku keempat dari seri yang menginspirasi Game of Thrones. Beberapa penggemar menyoroti adanya kejanggalan pada ilustrasi di buku tersebut — mulai dari anatomi yang aneh, pola karakter yang mirip satu sama lain, hingga detail lambang kerajaan yang tampak tak konsisten. Ciri-ciri ini sering diasosiasikan dengan hasil karya AI generatif.

amun, pihak resmi George R.R. Martin cepat menepis tudingan tersebut. Melalui pernyataan di blog pribadi sang penulis, Raya Golden — yang bertanggung jawab atas arah seni dan lisensi di Fevre River — menegaskan bahwa mereka tidak pernah dan tidak akan menggunakan AI dalam proyek kreatif apa pun.

> “Kabar resmi dari kantor kami adalah: kami TIDAK, belum pernah, dan tidak akan dengan sengaja bekerja dengan seniman generatif AI dalam bentuk apa pun,” tegas Golden, dikutip dari MovieWeb (12/11).

 

Golden menjelaskan, ilustrator yang mengerjakan karya tersebut memang menggunakan alat digital dalam proses kreatifnya, tetapi sama sekali tidak melibatkan teknologi AI. “Seniman tersebut telah menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada AI yang digunakan, dan kami mempercayainya,” tambahnya.

Isu ini menjadi semakin sensitif karena George R.R. Martin sendiri sedang berada di garis depan dalam gugatan hukum melawan AI. Bersama sejumlah penulis ternama lainnya, ia menuntut OpenAI — perusahaan di balik ChatGPT — atas dugaan pelanggaran hak cipta. Mereka menilai, karya mereka digunakan tanpa izin untuk melatih model bahasa yang kini dapat meniru gaya dan tema tulisan mereka.

Sebelumnya, Martin juga pernah menyebut AI sebagai “mesin plagiarisme paling mahal dan paling intensif energi di dunia.” Tak heran jika penggemar menilai, dugaan keterlibatan AI dalam karya Martin akan menjadi kontradiksi besar terhadap sikap vokalnya selama ini.

Respons cepat dari tim Martin menunjukkan kesadaran mereka terhadap dampak serius tuduhan ini, baik bagi reputasi sang penulis maupun kredibilitas mereka di mata industri kreatif dan hukum.

Kasus ini menambah panjang daftar perdebatan antara seniman dan teknologi, menunjukkan bahwa di era digital, batas antara kreativitas manusia dan mesin makin sulit dipisahkan.

 

(Nauval)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *