KASUKABUMI || Bulan madu Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tampaknya berakhir cepat. Setelah menolak mentah-mentah penggunaan APBN untuk menalangi utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh), kini posisinya disebut berada di tengah “operasi tekanan” politik yang bisa mengancam jabatannya.
Menurut analis intelijen dan geopolitik Amir Hamzah, langkah Purbaya itu bukan sekadar keputusan teknis, melainkan manuver berani yang mengguncang tatanan lama di lingkar kekuasaan.
“Purbaya dianggap anak baru yang lemah secara politik — bukan orang partai, tak punya backing di DPR — tapi berani menantang kelompok besar yang selama ini mengelola proyek strategis,” ujar Amir.
Ia menyebut, ada tiga lapisan tekanan yang kini tengah diarahkan ke Menkeu baru itu.

1. Politisasi Media
Berbagai narasi negatif mulai muncul di media dan kanal publik.
Purbaya digambarkan sebagai kaku, lamban, dan tidak komunikatif, membangun persepsi bahwa ia tidak seirama dengan ritme kabinet.
Narasi ini, kata Amir, dirancang untuk menciptakan citra gagal di mata publik.
2. Tekanan Legislatif
Di DPR, khususnya Komisi XI yang menjadi mitra kerja Kemenkeu, mulai aktif memanggil dan menekan Purbaya lewat forum resmi.
“Ini bentuk tekanan politik yang sah tapi sangat efektif,” ujar Amir.
3. Isolasi Politik
Dukungan sesama menteri mulai melemah. Jika Presiden Prabowo Subianto menilai Purbaya mengganggu stabilitas kabinet, reshuffle bisa jadi opsi paling mudah.
Amir menduga, langkah Purbaya yang menolak pembiayaan proyek kereta cepat menabrak kepentingan kelompok pro-Luhut Binsar Pandjaitan, dan secara tidak langsung juga mengusik warisan kebijakan era Joko Widodo.
“Ini bukan semata soal ekonomi, tapi benturan kepentingan besar antar kelompok pengendali proyek infrastruktur nasional,” jelasnya.
Secara teknokratis, langkah Purbaya menjaga APBN tetap sehat bisa dibilang benar.
Namun di panggung politik, kebenaran teknis sering kali kalah oleh kekuatan kepentingan.
“Purbaya tidak salah secara ekonomi. Tapi dalam politik kekuasaan, benar secara teknis belum tentu aman secara politik,” kata Amir.
Ia bahkan memprediksi, awal 2026 bisa menjadi momen krusial bagi nasib Purbaya di kabinet.
ini menggambarkan wajah keras politik Indonesia — integritas fiskal versus intrik kekuasaan.
Purbaya kini berdiri di persimpangan: antara mempertahankan prinsip atau mencari perlindungan politik agar selamat dari “operasi senyap” yang disebut mulai mengintainya.












