KASUKABUMI || Pasar uang kuno di Indonesia mengalami lonjakan nilai dalam dua tahun terakhir, terutama di kalangan kolektor profesional yang kini melihat benda numismatik bukan lagi sekadar memorabilia warisan sejarah, melainkan instrumen ekonomi dengan potensi imbal hasil tinggi. Uang logam dan kertas keluaran puluhan tahun silam kini diperdagangkan dengan harga yang jauh melampaui nilai historisnya, bahkan mendekati kategori aset alternatif.
Peningkatan nilai ini salah satunya didorong oleh meningkatnya permintaan kolektor kelas menengah-atas yang mencari instrumen investasi non-konvensional di luar pasar saham dan properti. Dalam pasar tertutup antarkolektor, sebuah uang kertas keluaran tahun 1950 misalnya, bisa mencapai jutaan rupiah per lembar, tergantung kondisi, nomor seri, dan kelangkaannya. Beberapa seri tertentu bahkan sudah diperlakukan seperti barang seni bernilai tinggi (collectible asset).
Numismatik — seni dan ilmu koleksi mata uang — kini mulai kembali menjadi pasar elit dengan struktur ekonomi yang semakin jelas. Kolektor tidak lagi sekedar menyimpan untuk kepuasan pribadi, tetapi melakukan kurasi, sertifikasi kualitas, hingga perdagangan berbasis reputasi. Di sejumlah komunitas khusus, transaksi uang kuno kini berjalan seperti perdagangan barang lelang, lengkap dengan analisis prospek harga dan tingkat kelangkaan.
Menurut pengamat pasar barang koleksi, fenomena kenaikan harga ini dipicu oleh dua faktor utama: semakin sedikitnya pasokan uang kuno dalam kondisi “mint” (nyaris sempurna), serta meningkatnya minat global terhadap benda-benda bersejarah dari Asia Tenggara. “Setiap tahun stok berkurang, tapi permintaan naik. Secara ekonomi sederhana, kelangkaan otomatis menciptakan premium value,” ujar seorang konsultan kolektor numismatik di Jakarta.
Dalam konteks investasi, uang kuno kini masuk ke kategori store of value — terutama bagi mereka yang ingin mendiversifikasi aset fisik selain emas atau perhiasan antik. Kolektor profesional menilai bahwa uang kuno memiliki karakteristik unik: volatilitas relatif rendah, peningkatan harga stabil, dan lebih kebal terhadap fluktuasi ekonomi jangka pendek karena basis nilainya bukan kurs, tetapi historical premium.
Di sejumlah komunitas high-end, uang kuno bahkan mulai diperlakukan menyerupai fine art investment. Nilainya bukan lagi hanya pada “berapa usia uang itu”, tetapi “berapa kuat kisah sejarah yang dibawanya”. Edaran uang masa revolusi misalnya, bisa lebih tinggi nilainya dibanding uang yang lebih tua namun tidak memiliki narasi kebangsaan yang kuat. Storytelling menjadi bagian dari valuasi.
Masuknya investor baru dari kalangan pengusaha dan profesional juga mendorong perputaran harga. Sebagian kolektor kini mengadopsi pola kepemilikan jangka panjang — mirip konsep holding dalam aset investasi — dengan strategi menahan koleksi tertentu hingga kelangkaannya mencapai titik maksimum. Pola ini menyebabkan harga di pasar terbuka kerap loncat signifikan dari tahun ke tahun.
Pasar ini sebagian besar masih bergerak secara privat, melalui lelang terbatas, komunitas tertutup, dan jaringan kolektor senior. Namun sisi inilah yang justru menjadi nilai tambah: eksklusivitas menciptakan stabilitas harga dan prestise kepemilikan. Tidak sembarang orang bisa masuk, karena kredibilitas dan rekam jejak kolektor sering lebih menentukan daripada uang tunai yang dibawa.
Sejumlah analis memperkirakan bahwa dalam lima tahun ke depan, numismatik berpotensi menempati ruang baru sebagai aset premium alternatif di Indonesia, sejajar dengan seni rupa dan barang antik. Peningkatan minat lintas generasi juga memperkuat proyeksi bahwa pasar ini masih jauh dari titik jenuh.
Bagi kolektor profesional, uang kuno tidak hanya menyimpan nilai masa lalu, tetapi juga menyimpan masa depan. Sebab semakin jauh sebuah mata uang ditinggalkan waktu, semakin mahal biaya untuk mengembalikannya dalam genggaman.
(M.Raihan)












