KASUKABUMI-Pakar Hukum Tata Negara Sindir Sikap Tak Tahu Malu Pejabat, Jejak Digital Gibran Kembali Disorot: “Saya Nggak Punya” Dalam cuplikan tersebut, Bivitri menyinggung soal pejabat negara yang disebut memiliki “mental culas” dan “tak tahu malu” dalam menjalankan skenario politik yang kotor.
Potongan video itu kembali beredar di platform X (sebelumnya Twitter) melalui akun @Opposisi6890, yang mengunggah ulang klip dari film dokumenter kontroversial tersebut. Film Dirty Vote sendiri menyoroti dugaan praktik kecurangan dalam Pemilu 2024, yang dianggap merugikan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Dalam video berdurasi singkat itu, Bivitri Susanti menyampaikan pernyataan tegas tentang pola kekuasaan dan penyalahgunaan jabatan di pemerintahan.
“…tapi sebenarnya ini bukan rencana atau desain yang hebat-hebat amat. Skenario seperti ini dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya, di banyak negara, dan sepanjang sejarah. Karena itu, untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini, nggak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua, mental culas dan tahan malu,” ujar Bivitri dalam dokumenter tersebut.
Pernyataan itu kembali menjadi sorotan publik setelah dikaitkan dengan jejak digital Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, sebelum dirinya resmi menjabat sebagai Wapres. Netizen ramai menyinggung video lama Gibran yang menyatakan “Saya nggak punya” dalam konteks tertentu, yang kini diparalelkan dengan sindiran Bivitri soal pejabat “tahan malu”.
Meski tidak secara langsung menyebut nama atau jabatan tertentu, ucapan Bivitri dianggap menyinggung realitas politik menjelang dan setelah Pemilu 2024. Banyak warganet menilai bahwa kritiknya masih relevan dengan kondisi pemerintahan saat ini.
Sementara itu, hingga kini belum ada tanggapan resmi dari pihak Istana maupun dari Bivitri Susanti sendiri terkait viralnya kembali potongan video tersebut. Film Dirty Vote yang juga menampilkan sejumlah ahli hukum dan pengamat politik sebelumnya sempat menimbulkan perdebatan publik karena berani mengupas sisi gelap praktik politik elektoral di Indonesia.
(Rijal)












