KASUKABUMI — Program umroh mandiri yang kini tengah digencarkan pemerintah semakin mencuri perhatian publik. Konsep baru ini memungkinkan masyarakat Indonesia untuk mengurus seluruh proses keberangkatan umroh secara independen — mulai dari pengajuan visa, pemesanan tiket, hingga akomodasi — tanpa harus melalui biro perjalanan resmi.
Banyak calon jemaah menyambut baik kebijakan tersebut karena dianggap lebih hemat biaya dan fleksibel. Dengan sistem digital yang mulai diterapkan pemerintah, masyarakat dapat memilih jadwal dan fasilitas sesuai kemampuan finansialnya. Tren ini bahkan disebut sebagai “era baru ibadah umroh” di tengah meningkatnya minat umat Muslim Indonesia untuk beribadah ke Tanah Suci.
Namun di sisi lain, sejumlah pelaku industri perjalanan justru menunjukkan sikap kritis terhadap kebijakan tersebut. Asosiasi Penyelenggara Haji dan Umroh Indonesia (AMPHURI) menilai bahwa langkah pemerintah ini berpotensi menimbulkan kekacauan baru, terutama bagi jemaah yang belum berpengalaman.
“Tidak semua calon jemaah memiliki kemampuan teknis atau pengetahuan soal pengurusan visa, transportasi, dan perizinan di Arab Saudi. Kalau terjadi kesalahan, siapa yang akan bertanggung jawab? Risiko seperti ini seharusnya tidak diambil secara gegabah,” ujar salah satu pengurus AMPHURI kepada media, Rabu (12/11).
Biro perjalanan juga menyoroti potensi munculnya penipuan berkedok umroh mandiri. Mereka menilai, tanpa pengawasan ketat dan mekanisme verifikasi yang kuat, masyarakat rentan tertipu oleh pihak tidak bertanggung jawab yang menawarkan paket murah namun fiktif.
“Sudah ada beberapa kasus di mana calon jemaah tertipu karena percaya pada situs atau agen tidak resmi. Pemerintah harus memastikan sistem digital yang disiapkan benar-benar aman dan tidak mudah disalahgunakan,” tambahnya.
Dari sisi ekonomi, pelaku usaha travel umroh juga mulai merasakan tekanan. Sejak wacana umroh mandiri digaungkan, beberapa biro kecil mengalami penurunan jumlah pendaftar. Padahal, sektor ini menjadi sumber penghidupan bagi ribuan pekerja dan staf operasional di seluruh Indonesia.
“Selama ini biro perjalanan bukan hanya menjual tiket, tapi juga memberikan bimbingan ibadah, mendampingi jemaah lansia, dan memastikan mereka nyaman selama perjalanan. Kalau semuanya serba mandiri, aspek pendampingan spiritual bisa hilang,” ujar seorang pemilik biro perjalanan di Jakarta Selatan.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Agama menegaskan bahwa program umroh mandiri bukan untuk mematikan peran biro perjalanan, melainkan untuk memberi alternatif baru bagi masyarakat. Pemerintah juga berkomitmen akan memperkuat sistem pengawasan dan sertifikasi bagi penyedia layanan digital agar tidak disalahgunakan.
“Umroh mandiri adalah bentuk inovasi pelayanan publik. Kami tetap mendorong jemaah menggunakan jalur resmi, namun juga memberikan ruang bagi yang ingin lebih fleksibel dan efisien,” kata salah satu pejabat Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umroh dalam keterangan resminya.
Meski pro dan kontra masih berlangsung, tren umroh mandiri tampaknya sulit dibendung. Banyak generasi muda yang tertarik mencoba jalur ini karena kemudahan akses informasi dan harga yang lebih terjangkau.
Kini, tantangan terbesar bagi pemerintah adalah memastikan keamanan, transparansi, dan kenyamanan seluruh jemaah agar inovasi ini tidak berubah menjadi bumerang. Sementara itu, biro perjalanan diharapkan dapat beradaptasi dengan menawarkan layanan yang lebih kreatif dan bernilai tambah di tengah perubahan lanskap ibadah umroh Indonesia.
(Raihan)












